AMMOTERE ABBAJI PADA SUKU MAKASSAR (Studi Kasus di Desa Barembeng Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa)
MUH SARI SAM, BAU ASMA, ANDY SURIYANI, FITRA YUNIASTRI PUTRI, TUARNILA TUARNILA
Abstract
Fenomena pernikahan saat ini yang marak terjadi dikalangan masyarakat yaitu kawin lari atau yang dikenal ‘silariang’. Silariang merupakan bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan secara sadar oleh pihak laki-laki maupun pihak untuk mencapai kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dengan jalan silariang (kawin lari) tanpa mendapat restu dari pihak keluarga. Tindakan kawin lari sebagai bentuk penyimpangan hukum adat dalam masyarakat suku Makassar akan menyebabkan pihak keluarga dari pelaku kawin lari harus menanggung malu dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, untuk memperbaiki hubungan tersebut maka dibutuhkan sebuah proses damai antara pasangan dengan pihak keluarga yang dikenal dengan nama ammotere abbaji pada suku Makassar. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui paradigma masyarakat dan tokoh adat dalam kasus silariang pada suku Makassar dan mengetahui prosedur ammotere abbaji pada kasus silariang berdasarkan perspektif hukum adat serta untuk mengetahui dampak ammotere abbaji’ dalam kasus silariang bagi keharmonisan keluarga dan lingkungan sosial. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif lapangan yang bersifat deskriptif dan lebih cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif, dengan menggunakan instrumen observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Silariang dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu jalan pintas bagi perempuan dan laki-laki yang tidak dapat melaksanakan pernikahan, karena tidak adanya restu dari kedua orang tua baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, tingginya uang panai (uang belanja) terhadap perbedaan tingkat strata sosial dalam masyarakat, dan terjadinya kehamilan diluar nikah akibat pergaulan bebas. Penyelesaian kasus silariang berdasarkan hukum adat yaitu dengan melakukan ammotere abbaji, sehingga pelaku silariang tersebut akan terbebas dari sanksi adat. Ammotere abbaji merupakan kembali untuk baik artinya kembalinya pelaku kawin lari (silariang) kepihak keluarga untuk memohon maaf dan meminta doa restu. Adapun dampak setelah melakukan ammotere abbaji bagi pelaku silariang ini dapat kembali ke keluarga dan masyarakat dengan aman. Pelanggaran adat dalam kasus silariang akan mendapat sanksi sosial berupa bahan gunjingan dalam kehidupan masyarakat.
Elbadiansyah. (2014). Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik hingga Modern. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Halmawati. (2017). Kawin Lari (Silariang) Sebagai Pilihan Perkawinan (Studi Fenomenologi Pada Masyarakat Buakkang Kecamatan Bungaya Kabupaten Gowa). Skripsi. Makassar: UIN Alauddin Makassar.
Mahmudah. (2015). Masalah Pernikahan Anak di Bawah 18 Tahun di Kabupaten Banyuwangi. Jurnal Pendidikan, Komunikasi, dan Pemikiran Hukum Islam, 6(2): 185-197.
Susilawati. (2016). Fenomena Silariang di Desa Bululoe Kecamatan Turatea Kabupaten Jeneponto. Skripsi.Makassar: UIN Alauddin Makassar.