SOLASTALGIA DAN PARADOKSAL UPAYA PENYELAMATAN LINGKUNGAN PADA TIGA CERPEN MERAYU LANGIT (2017)

Farah Dibaj, Suma Riella Rusdiarti

Abstract


Pemikiran antroposentris mengakibatkan munculnya kerusakan lingkungan. Seringkali, teknologi menjadi instrumen ketamakan sekaligus pemusnahan manusia. Kerusakan sebuah tempat (place pathology) menghilangkan rasa nyaman (solace) seseorang dalam berumah (A. G. Albrecht, 2019). Solastalgia kemudian muncul untuk memperlihatkan hubungan antara lingkungan biofisik dan jiwa seseorang (psychoterratic). Ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen (Mahendra, 2017) secara implisit mengandung kritik terhadap antroposentrisme dan modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi. Penelitian dengan metode kualitatif-dekstriptif ini bertujuan untuk memperlihatkan relasi antara manusia dan tempat (psychoterratic) dalam ketiga cerpen memunculkan solastalgia sebagai pendorong upaya penyelamatan lingkungan pada tokoh dalam cerpen. Dengan memakai teori solastalgia dari (G. Albrecht, 2019), penelitian menunjukkan bahwa tokoh dalam cerpen merasakan solastalgia yang muncul dari tempat tinggal yang mengalami kerusakan akibat radiasi nuklir, disebabkan karena mereka harus tetap tinggal di tanah tersebut. Lebih lanjut, tokoh Ibu memperlihatkan sikap paradoksalnya sebagai upaya penyelamatan lingkungan. Pada satu sisi, Ibu memberikan tanggung jawab berupa novel peringatan ke pada anaknya untuk menyelamatkan lingkungan, namun, di sisi lain, sang Ibu selalu mengelak jika sang anak bertanya mengenai apa yang Ibu dan Ayah bicarakan. Maka, dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa solastalgia dapat hadir sebagai pendorong adanya upaya penyelamatan lingkungan


Keywords


solastalgia, penyelamatan lingkungan, paradoks, cerpen

Full Text:

PDF

References


Albrecht, A. G. (2019). Earth Emotions: New Words for a New World. In Earth Emotions: New Words for a New World. Cornell University Press. https://doi.org/10.7591/cornell/9781501715228.001.0001

Albrecht, G. (2019). The Psychoterratic in the Anthropocene: Negative Earth EmotionsNegative Earth Emotions (pp. 63–90). https://doi.org/10.7591/cornell/9781501715228.003.0004

Dewi, N. (2016). Ekokritik Dalam Sastra Indonesia: Kajian Sastra Yang Memihak. Adabiyyāt, 15(1), 19–37.

Mahendra, G. (2017). Merayu Langit. CV Jejak (Jejak Publisher). https://books.google.co.id/books?id=4fxsDwAAQBAJ

Manuaba, I. B. P. (2016). Representasi Kerusakan Lingkungan Dalam Kumpulan Puisi Tanggulendut F. Aziz Manna (Wiyatmi, E. Liliani, & Budiyanto (eds.); pp. 1038–1154). HISKI UNY.

Rosyidah, U. N. D. (2016). Environmental Racism Dalam Novel Anak BAKUMPAI Terakhir Karya Yuni Nurmalia (Wiyatmi, E. Liliani, & Budiyanto (eds.); pp. 1248–1264). HISKI UNY.

Sudikan, S. Y. (2016). Representasi Kerusakan Ekosistem Dalam Fiksi Indonesia Mutakhir (Wiyatmi, E. Liliani, & Budiyanto (eds.); pp. 1055–1174). HISKI UNY.

Triadnyani, I. G. A. A. M. (2016). Isotopi Lingkungan dalam Kumpulan Sajak Merayakan Pohon di Kebun Puisi Karya I Nyoman Wirata: Kajian Ekokritik. In Wiyatmi, E. Liliani, & Budiyanto (Eds.),Sastra Hijau dan Ekofeminisme (pp. 16–30). HISKI UNY.

Vidiyanti, M. O. (2016). Membaca Novel Lemah Tanjung Karya Ratna Indraswari Ibrahim: Tinjauan Ekofeminisme Vandana Shiva (Wiyatmi, E. Liliani, & Budiyanto (eds.); pp. 1118–1133). HISKI UNY.




DOI: https://doi.org/10.26618/konfiks.v8i1.6437

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2022 JURNAL KONFIKS

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Creative Commons License
Journal Konfiks is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.